Assalamualaikum.
Pukul 22.05 WIB.
LOOOONNNGGGG TIME NO SEE ya.. hehe
Akhirnya kelar juga satu tulisan. Post pertama di tahun
2014. HAPPY NEW YEAR for you all guys. Semoga ditahun ini kita lebih baik dari
sebelumnya. Amin.
Nah. Ini postingan sebenernya pengalaman selama vakum dari
dunia per-bloga-an. Selain gak ada ide, pikiran buntu, banyak tugas, dan banyak
aktivitas lain faktor rutinitas dan cuaca juga menghambat munculnya
postingan... hehe (gak penting)
Okedeh langsung aja, emmhh.. ini berawal dari kisah
pengalaman seorang pemuda. College story, love story, and some life story. Kuliah
memang sangat menyenangkan bagi anak-anak SMA yang baru lulus. Namun di
negeriku itu ada yang aneh, cenderung adanya kelas-kelas di universitas. Universitas
negeri dan kedinasan cenderung mendapat label kelas 1. Sebuah keunggulan dimata
orang tua jika anaknya masuk di universitas negeri atau kedinasan. Memang benar
sih kualitas tak bisa di acuhkan. Kebanyakan kualitas negeri lebih unggul. Eh eh
tunggu dulu, sekarang 2014 coy, universitas swatsa juga banyak yang berprestasi
mengalahkan negeri. So? People mindset memang akan sukar berubah karena sudah “meng-saklek-kan”
logika tersebut.
Di bandara BALI. Saya sedang duduk di kursi bersama teman
saya. Memang saat itu sedang menunggu pesawat, dan banyak sekali mahasiswa yang
baru pulang liburan. Ada fenomena yang membuat saya berpikir. Terlihat seorang ayah
yang mengenakan topi polis dengan bangga dan bermain-main layaknya anak kecil. Topi
itu milik anaknya yang baru saja lulus di institusi kepolisian. Suatu kebanggaan
memang melihat seorang anak yang menjadi polisi, namun saya melihat anak itu
terlihat malu dengan kawan-kawannya saat ayahnya memakai topi polisi itu. Anak itu
langsung memalingkan muka dan berbincang dengan ibunya tanpa menghiraukan
ayahnya yang mengajak main anaknya.
Yah, memang itu tempat umum tapi gak selayaknya memalingkan
muka. Apalagi terhadap orang tua kita. Angkuh kah kita karena prestasi kita
melebihi orang tua kita?
Sementara itu di sisi sebelah kiri kantin, ada seorang
pemuda yang sedang menelpon, memakai celana pendek, kaos oblong, kacamata dan
sepatu. Mungkin terlihat biasa saja, atau mungkin tak ada yang memandangnya
sebagai suatu kebanggan. Berbeda dengan anak tadi yang memakai seragam penuh
bangga. Pemuda ini lebih simple. Dia duduk dikursi dan sampingnya ada seorang
pemuda yang memakai seragam lain. Memang ini pikiran pribadi bukan general,
namun secara jelas perbedaan ditujukan berbeda. Ada seorang yang berada dikursi
roda sedang mencari suaminya. Memang belum terlihat petugas bandara, namun dari
hampir belasan pemuda yang memakai seragam penuh bangga hanya melihat,
berjalan, berbincang. Namun pemuda bercelana pendek itu menurunkan telepon
genggamnya dan segera mendekati orang sakit itu. Segera.
Kita tidak butuh seragam. Masyarakat tidak butuh pengakuan
seragam. Masyarakat tidak butuh sosok yang berdiri dengan gagah namun duduk
saat yang lain menjerit. Pemuda bercelana pendek itu bernama ricky. Dia salah
satu mahasiswa jurusan manajemen dan bisnis di universitas negeri di bandung. So?
Bagaimana anda menjelaskan rasa bangga anda, rasa angkuh anda? Atau mungkin
bagaimana cara anda menggunakan rasa bangga tersebut? Hemm.. atau mungkin saja
anda hanya menyombongkan diri karena anda lebih dari yang lain? Saya akan
angkat topi, mungkin akan standing aplause jika pemuda yang berseragam tadi,
menurunkan topinya, meletakan handphone-nya dan berdiri. Segera bertanya pada
orang sakit tadi dan mungkin jika perlu mereka mampu melepaskan seragam untuk
enolong sesama.
Naaahh itu hanya pengalaman dan pandangan pribadi dalam
sekitar satu jam duduk di kursi bandara. Mungkin tidak semua, makanya saya
tidak mau men-general-isir. Okeh, pengalaman kedua tentang percintaan. Yaaahh dari
dulu memang kisah cinta saya agak berliku-liku. Namun berusaha mencintai
seseorang itu lebih bermakna daripada dicintai. Karena cinta itu sebenernya
bukan masalah dia, kamu, atau mereka. Tapi masalah rasa aku ke kamu. Aseeeekkk dah,
mulai ni bijak. Biasalah, orang galau selalu bisa mengeluarkan kata-kata bijak..
Cinta ke seseorang ada yang mengatakan tidak boleh
sepenuhnya, nanti kalau disakiti akan sakit sekali. Emmh bagaimana yah, agak
kurang setuju sih. Menurut saya malah pendapat ini membuat orang makin banyak
selingkuh ahahaha :D... loh iya, karena dalam hatinya menyisakan ruang untuk
orang lain. Namanya saja tidak boleh cinta sepenuhnya, berarti ada ruang yang
disisakan. Bahaya loh. Nah, maka dari itu mungkin ini bisa membantu, seharusnya
kita mencintai, tidak hanya mencintai. Melakukan sesuatu itu harus 100 %..
dengan melakukan atau mencintai sepenunya maka tidak ada ruang sedikit pun
untuk yang lain. Dengan begitu kita bisa memberikan segalanya. Nah kalau ada
pertanyaan bagaimana dengan cinta kepada tuhan? Weits weits.. cinta pada Tuhan
tidak bisa disamakan dengan cinta pada manusia. Cinta pada Tuhan itu cinta
dasar kita sebagai manusia, bukan lagi 100 persen atau 1000 persen atau
100000000 persen, mungkin cinta kita pada Tuhan adalah cinta yang tak mampu
dihitung.
Nahhh mau mencoba untuk mencintai sepenuhnya? Lakukan saja. Coba.
Kalaupun sakit itu hanya sementara.
MENCINTAI SEPENUHNYA. TIDAK MASALAH AKAN TERSAKITI, KARENA
CINTA ITU TENTANG AKU DAN KAMU
Semoga ada manfaatnya.
Bye
Wassalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar