Assalamualaikum..
Pukul 09.22 WIB
Yooo.. sudah ada dua nih
posting-an cerpen, nah kali ini penulis mau posting lagi. Semoga aja kalian
terus menikmati semua cerpen-cerpennya. Keep visiting, keep reading, and try to
write something guys..
Langsung aja deh. Cekidot
The Dairy ( Buku Harian )
“
Teeeeeeeettt…Teeeeeeeeet” suara bel yang berbunyi nyaring mengeluarkan nadanya
hingga kepelosok kelas. Tanda bel itu adalah tanda kebahagiaan bagi murid yang
sedang belajar. Tanda untuk berakhirnya jam pelajaran, dan beralih ke fase
istirahat sejenak. Ya itulah bel tanda istarahat. Di antara suara keributan
itu, terdengarlah suara yang melengking itu, dia adalah..
“laang,
gilang” suara teman ku yang memanggil namaku dengan nada kerasnya. Aku adalah
gilang, Gilang Pratama. Aku anak ke 2 dari dua bersaudara. Kakakku seorang
desainer baju bernama Maya. Sekarang ia bekerja di Jakarta, meninggalkan rumah
kami sekeluarga untuk tinggal bersama suaminya. Suara yang memanggil namaku
tadi adalah Tyo. Tyo adalah sahabatku yang paling dekat, mungkin bisa dikatakan
sebagai saudara juga. Aku berteman dengannya semenjak aku di taman kanak-kanak.
Rumahnya gak terlalu jauh dari rumahku, hanya beda blok saja. Ia di blok C,
sedangkan aku di blok B. sekarang kami berdua satu sekolah di SMA 44 daerah
BARU, sekelas, dan teman sebangku pula. Ini bukanlah keajaiban, namun ini
sebuah rencana yang kami susun sejak SD dulu.
“
yooy, apaan yo’? lagi ngerjain tugas ni.” Kataku sambil mengerjakan tugas yang tadi
diberikan oleh ibu guru. Di sekolah kami, yang namanya tugas adalah sesuatu
yang wajib dan mutlak di berikan oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan penuh
yaitu guru, diberikan kepada makhluk lemah yang tak berdaya yaitu murid. Namun
ini adalah sebuah rantai perjalanan yang harus dihadapi. Jadi, kami selalu
menghadapinya dengan santai, apalagi tyo, dia hampir saja 2 minggu bolos
gara-gara ketagihan main game online. Benar-benar santai.
“
lang, tadi aku pergi ke ekskul teater, aku lihat dia, dia.” Dengan suara
terbata-bata. “ siapa yo’? tunggu dulu,
pasti mila.” Kataku sambil menghentikan tugas yang kukerjakan. “ benar, benar.
Ada dia lang. pliiiiis, bantuin”. Seperti biasa, usrusan cewek pasti aku yang
disuruh. Tyo memang lagi terobsesi sama yang namanya mila. Kebetulan juga si
mila tetangga ku. Jadi aku cukup kenal baik sama dia, sama keluarganya juga. “
iyah, iyah, ayo deh sekarang kesana.” “ eh, eh. Masak sekarang? Belum ada
mental lang.” kata tyo sambil terbata-bata. “ ayolah”. Aku langsung menariknya
keluar kelas. Langsung saja kami berjalan menuju kelas teater. Dalam
perjalanannya, tyo mengomel-ngomel gak jelas tentang dirinya sendiri. Aku gak
mau ambil pusing, yang penting aku bantu dia saja, jadi aku anggep aja dia
adalah MP3 berjalan yang sedang memutar lagu Emin3m.
Sekolah
kami gak terlalu besar, dari kelas kami, sampai ke kelas teater hanya berjarak
satu lantai. Memang sih, di sekolah ini terdapat 2 gedung, yang dua-duanya
berlantai 4. Setelah sesampainya di kelas teater, kaki tyo bergetar hebat.
Akhirnya dengan terpaksa aku sendirian yang mencari mila. Kelas teater adalah
satu-satunya kelas yang ruangannya tertutup. Hal ini di akibatkan kelas yang
terletak paling pojok bangunan. “ mila dimana yah?” kataku bertanya kepada dina
temannya mila. “ mila? Itu tuh, lagi menulis skenario “. Akupun langsung menuju
mila.
“
mila “, “ oh, hay gilang. Ada apa ni, tumben kesini siang-siang.” Katanya
sambil tersenyum manis ala anak remaja. “ ah, gak ada sih. Cuma mau nyampein
salam dari tyo “, “ tyo?” katanya heran. “ iya, tyo kusuma. Temanku.” “ ohh tyo,
iyah yah. Salam balik deh” ucapnya sambil tertawa ringan. Lah? Apa yang harus
kulakukan? Mila sudah bilang salam balik. Kalau aku balik ke tyo, nanti tyo
marah-marah, gara-gara aku Cuma nyampein hal sepele gitu. Sembari aku berkata
dalam hati, mila pun berkata “ lang, bisa ambilin horden di ruang audio gak?”.
Lah? Kenapa naruh horden di ruang itu? Menurut rumor ruang itu gak pernah di
buka sama sekali, karena ruang itu adalah sebuah portal yang menghubungkan
dunia manusia dan jin.
“
beneran ni? “ kata ku sambil menelan ludah. “ ya ialah” ujar mila dengan
tersenyum. Terpaksa aku mengambil horden itu. Letak ruang audio adalah di
belakang panggung teater. Di belakang panggung ternyata banyak orang juga yah.
Kini, ruang audio tepat di depan ku. Ku beranikan diri, dan mulai membuka pintu
itu. Susah. Yah, maklum saja, semenjak sepeninggal bapak murdi penjaga sekolah
ini, ruang ini hamper-hampir gak ada yang menyentuhnya. Mungkin mila takut,
makanya dia menyuruhku. Sialnya lagi aku juga takut. “traak” terbuka. Pintu ini
telah terbuka. Gelap sekali ruangan ini, ku nyalakan saja lampu yang ada di
kamar itu.
Akhirnya
terang juga. Disini banyak benda-benda yang sudah berdebu. Saat aku sedang
mencari, kutemukan sebuah buku harian. Gak tau punya siapa. Namun judulnya terbuat
dari tinta berwarna merah maroon bertuliskan Déjà Vu. Aneh, siapa
pula yang bercerita di buku harian memakai judul. Kubuka saja halaman pertama,
ada tulisan bab 1,ini berarti ada bab-bab selanjutnya. Di halaman pertama,
tergambarkan sesosok anak remaja yang tampan rupawan, memiliki teman dekat, dan
diceritakan pula tentang letak rumahnya. Hemmh, aneh, kataku. Letak rumahnya
hamper mirip dengan letak rumah ku.
Kemudian
kubuka saja bab kedua, hal ini kulakukan karena takut. Sendiri di ruang ini, bertemankan
lampu yang sudah mulai meredupkan dirinya. Bab dua berisikan tentang penemuan
buku ini di ruang teater. Busyet dah, makin merinding bulu kuduk ku. Aku lompat
saja ke halaman selanjutnya. Ini yang paling ku takutkan, di buku itu tertulis dan benar saja, aku segera mengambil buku
itu, kubaca, dan kini kusadari, bahwa itu aku.
Aaaaa, apa ini? Segera ku buang buku harian
itu. Aku langsung berlari keluar ruang audio. Kubuka pintu dan..
“laang,
gilang” suara teman ku yang memanggil namaku itu, bukan lain adalah tyo. Kubuka
lebar mataku. Ini bukan di ruang teater, melainkan, kelasku. “ lang, tadi aku
pergi ke ekskul teater, aku lihat dia, dia.” Dengan suara terbata-bata. Tyo
juga ada disini, berarti semua juga berubah. Ku lihat tyo, apa? Pertanyaannya sama
dengan yang tadi. Gayanya, suaranya, nadanya, hingga waktunya. Mungkinkah ini.
Tiba-tiba saja, Aku langsung menariknya keluar kelas. Langsung saja kami
berjalan menuju kelas teater. Dalam perjalanan kami, seperti yang kuduga, tyo
mengomel-ngomel tentang dirinya. Benar-benar terulang.
Sesampainya
di kelas teater, aku berjalan sendiri seperti yang kulakukan sebelumnya.
Berbicara dengan mila, hingga ia menyuruhku untuk mengambil horden yang ada di
ruang aula. Kemudian aku berjalan menuju ruangan itu dengan perasaan tak enak,
dan aku berpikir, setelah ini yang aku lakukan pasti membuka pintu, menyalakan
lampu, dan yang terakhir menemukan buku harian itu. Benar saja, setelah
menyalakan lampu, aku menemukan buku itu, kemudian aku pgang dan, badanku
bergetar, bulu kuduk ku berdiri. Lari, yah itu yang akan ku lakukan. Aku
langsung membuang buku itu, dan lari keluar ruang itu dan,
“laang,
gilang” suara teman ku yang memanggil namaku dengan nada kerasnya. Ya, dialah
tyo. Sial, terulang lagi. Apa ini? Ada apa sebenarnya? Hal-hal yang tadi
kulakukan terulang kembali. Hingga tepat di ruang itu. Berhadapan dengan buku
harian itu. Aku memberanikan diri untuk mengambilnya. Kubuka perlahan, dari
cover sampai pada halaman 39 bab ketiga. Ku baca, dan tertulis disana “ kemudian ku beranikan diri untuk membacanya,
aku terheran, sepertinya aku pernah mengalami ini. Kemudian aku berlari, aku
sangat takut, ku buang itu. Ku lihat temanku tergantung di atas kelas..” .
apa ? temanku, sial, apa sebenarnya ini. Segera ku berlari keluar pintu dan…
Waktu
itu tak terulang kembali, aku berada tepat di ruang depan ruang audio. Lebih
tepatnya di ruang teater. Namun, tak seberapa lama, ku dengar suara teriakan.
Suara mila. Segera ku berlari menuju suara itu. Kerumunan siswa sudah berkumpul
melihat sesuatu. Bukanlah hal yang menarik, namun mengerikan. Tyo temanku tewas
gantung diri di kelas teater. Kenapa bisa terjadi? Ada apa ini? Apa gara-gara
buku itu? Sial. Temanku tewas di depan mataku. Aku tak tahan melihat ini, aku
gak rela. Maka aku langsung ke ruang audio itu. Ku cari buku harian itu.
Berharap dapat membacanya kembali. Dimana bukunya? Setelah beberapa menit,
akhirnya kutemukan buku itu di atas meja, telah tertata rapi seperti
sebelumnya. Ku ambil dan segera ku baca.
Bab
4, “ ku cari buku itu, akhirnya kutemukan. Aku segera mengambil dan berjalan
keluar ruangan. Kulihat sekolah seluruhnya sepi, bagaikan sekolah kosong yang
baru saja di timpa bencana. “ apaaa? Semua akan menghilang? Ada niatku untuk
beranjak dari ruang itu. Tapi ku ingat tentang kejadian yang baru saja kualami.
Di buku ini tertulis kejadian yang akan datang. Jika aku keluar sekarang, maka
semuanya akan terjadi. Namun, jika aku tinggal di ruang ini, maka apa yang
tertulis di buku ini akan menjadi tulisan kosong saja.
Aku
berpikir keras. Apayang harus kulakukan. Keluar atau membaca kelanjutannya?
Aku
menetapkan untuk tinggal beberapa menit saja unutk mencoba membaca kelanjutan
dari tulisan yang ada di buku harian itu. Bab 5 tertulis,
“kemudian
aku segera kembali dan duduk di ruag ini. Aku menangis. Kemana semua
orang-orang ini. Mereka begitu saja menghilang tanpa jejak. Kemudian aku buku
itu, dan kutulis semua kejadian ini.”
Kosong? Kataku heran. Halaman ini
kemudian kosong? Tersisa coretan yang mengerikan. Gambar-gambar kematian ini,
seperti gambarku saat mengikuti lomba poster film horror yang di adakan di
sekolah ku. Terus saja ku coba untuk mencari-cari sesuatu yang dapat membuatku
tidak ketakutan lagi. Tapi yang kudapat adalah tulisan,
“ aku
frustasi, bingung. Pisau dan golok sudah ada di sampingku. Tergeletak pula
beberapa kepala manusia, tidak lain adalah temanku. Darah bececeran. Siapa
pelakunya? Ku lihat tangan ku penuh darah. Aku? Kemudian aku..”
Kosong. Kosong lagi. Tulisan itu
terhenti. Tepat di akhir halaman buku harian itu. Aku berpikir, apakah
pelakunya penulis itu? Yang membunuh 1 sekolahan dengan tangannya? Siapa
penulis buku itu? Kejadiannya sama seperti kejadian ku, malah apa yang tertulis
di buku ini, menjadi kenyataan. Berarti pembunuh itu..adalah..
Ah tidak mungkin, aku tidak pernah
memegang pisau, ataupun golok. Lagipula di ruang ini hanya aku sendiri. Tidak
ada kawan ataupun orang lain. Hal itu terbantahkan ketika aku menoleh, mampus,
apa itu.. kenapa ada… aku diam kaku. Yang kulihat adalah kepala seseorang yang
tak asing lagi. Mila. Apa? Kepala itu terpajang di dinding ruangan. Penuh
dengan darah. Sial. Apa-apaan ini. Selanjutnya, hal yang paling ku takuti
adalah, pisau di sebelah tangan kananku, dan golok di tangan kiriku. Penuh
dengan noda percikan darah yang sangat kental.
Bukan aku pelakunya, tapi ini tak
terbantahkan lagi. Aku pelakunya? Aku? Seingatku, aku adalah seorang siswa yang
tak sengaja menemukan buku harian bangsat ini. Semua ini terjadi begitu saja.
Dalam hitungan menit. Seluruh sekolah tewas. Aku pasti mengelak dengan semua
ini, bahwa aku bukan pelakunya, tapi percuma.
Aku benar-benar frustasi, bingung,
gila. Mataku melotot tajam kearah pisau ku. Urat leherku membesar, rambutku
acak-acakan, tanganku memerah penuh darah. Aku tersenyum. Kemudian tertawa
selebar-lebarnya. Suaraku mendengung hingga kepelosok kelas. Siapa yang
mendengar? Tidak ada. Kemudian aku berjalan menuju cermin di samping panggung
teater. Kulihat diriku bagaikan seorang remaja psikopat yang gila. Ku lepaskan
golokku dari tangan kiriku. Ku pegang rambut ku yang acak-acakan. Ku genggam
pisau itu dan ku arahkan tepat ke leherku. Aku tertawa, dan, *jleeebb*..
Tertulis di media massa,
“ Seorang
remaja gila yang membunuh seluruh warga sekolah dengan menggunakan belati. Di
duga remaja ini mengalami sakit jiwa sebelum ia bunuh diri tepat di depan
cermin.”
Tertulis di buku harian, bagian akhir
yang terpotong,
“ kemudian
aku, keluar dari ruang itu. Dan memotong kepalaku sendiri. Itulah hal yang
paling aku suka.
Ttd
Gilang
Pratama “
Buku harian itu menghilang. Hampir 3 bulan
lamanya polisi setempat mencari barang bukti, namun hasilnya nihil.
Kemungkinan, buku harian itu kini ada di sekolah kalian.
END
Karya Muhammad Imam Saputra