Sabtu, 22 Februari 2014

Cerpen "The Dairy"

Assalamualaikum..

Pukul 09.22 WIB

Yooo.. sudah ada dua nih posting-an cerpen, nah kali ini penulis mau posting lagi. Semoga aja kalian terus menikmati semua cerpen-cerpennya. Keep visiting, keep reading, and try to write something guys..

Langsung aja deh. Cekidot

The Dairy ( Buku Harian )


            “ Teeeeeeeettt…Teeeeeeeeet” suara bel yang berbunyi nyaring mengeluarkan nadanya hingga kepelosok kelas. Tanda bel itu adalah tanda kebahagiaan bagi murid yang sedang belajar. Tanda untuk berakhirnya jam pelajaran, dan beralih ke fase istirahat sejenak. Ya itulah bel tanda istarahat. Di antara suara keributan itu, terdengarlah suara yang melengking itu, dia adalah..
            “laang, gilang” suara teman ku yang memanggil namaku dengan nada kerasnya. Aku adalah gilang, Gilang Pratama. Aku anak ke 2 dari dua bersaudara. Kakakku seorang desainer baju bernama Maya. Sekarang ia bekerja di Jakarta, meninggalkan rumah kami sekeluarga untuk tinggal bersama suaminya. Suara yang memanggil namaku tadi adalah Tyo. Tyo adalah sahabatku yang paling dekat, mungkin bisa dikatakan sebagai saudara juga. Aku berteman dengannya semenjak aku di taman kanak-kanak. Rumahnya gak terlalu jauh dari rumahku, hanya beda blok saja. Ia di blok C, sedangkan aku di blok B. sekarang kami berdua satu sekolah di SMA 44 daerah BARU, sekelas, dan teman sebangku pula. Ini bukanlah keajaiban, namun ini sebuah rencana yang kami susun sejak SD dulu.
            “ yooy, apaan yo’? lagi ngerjain tugas ni.” Kataku sambil mengerjakan tugas yang tadi diberikan oleh ibu guru. Di sekolah kami, yang namanya tugas adalah sesuatu yang wajib dan mutlak di berikan oleh seseorang yang mempunyai kekuasaan penuh yaitu guru, diberikan kepada makhluk lemah yang tak berdaya yaitu murid. Namun ini adalah sebuah rantai perjalanan yang harus dihadapi. Jadi, kami selalu menghadapinya dengan santai, apalagi tyo, dia hampir saja 2 minggu bolos gara-gara ketagihan main game online. Benar-benar santai.
            “ lang, tadi aku pergi ke ekskul teater, aku lihat dia, dia.” Dengan suara terbata-bata. “ siapa  yo’? tunggu dulu, pasti mila.” Kataku sambil menghentikan tugas yang kukerjakan. “ benar, benar. Ada dia lang. pliiiiis, bantuin”. Seperti biasa, usrusan cewek pasti aku yang disuruh. Tyo memang lagi terobsesi sama yang namanya mila. Kebetulan juga si mila tetangga ku. Jadi aku cukup kenal baik sama dia, sama keluarganya juga. “ iyah, iyah, ayo deh sekarang kesana.” “ eh, eh. Masak sekarang? Belum ada mental lang.” kata tyo sambil terbata-bata. “ ayolah”. Aku langsung menariknya keluar kelas. Langsung saja kami berjalan menuju kelas teater. Dalam perjalanannya, tyo mengomel-ngomel gak jelas tentang dirinya sendiri. Aku gak mau ambil pusing, yang penting aku bantu dia saja, jadi aku anggep aja dia adalah MP3 berjalan yang sedang memutar lagu Emin3m.
            Sekolah kami gak terlalu besar, dari kelas kami, sampai ke kelas teater hanya berjarak satu lantai. Memang sih, di sekolah ini terdapat 2 gedung, yang dua-duanya berlantai 4. Setelah sesampainya di kelas teater, kaki tyo bergetar hebat. Akhirnya dengan terpaksa aku sendirian yang mencari mila. Kelas teater adalah satu-satunya kelas yang ruangannya tertutup. Hal ini di akibatkan kelas yang terletak paling pojok bangunan. “ mila dimana yah?” kataku bertanya kepada dina temannya mila. “ mila? Itu tuh, lagi menulis skenario “. Akupun langsung menuju mila.
            “ mila “, “ oh, hay gilang. Ada apa ni, tumben kesini siang-siang.” Katanya sambil tersenyum manis ala anak remaja. “ ah, gak ada sih. Cuma mau nyampein salam dari tyo “, “ tyo?” katanya heran. “ iya, tyo kusuma. Temanku.” “ ohh tyo, iyah yah. Salam balik deh” ucapnya sambil tertawa ringan. Lah? Apa yang harus kulakukan? Mila sudah bilang salam balik. Kalau aku balik ke tyo, nanti tyo marah-marah, gara-gara aku Cuma nyampein hal sepele gitu. Sembari aku berkata dalam hati, mila pun berkata “ lang, bisa ambilin horden di ruang audio gak?”. Lah? Kenapa naruh horden di ruang itu? Menurut rumor ruang itu gak pernah di buka sama sekali, karena ruang itu adalah sebuah portal yang menghubungkan dunia manusia dan jin.
            “ beneran ni? “ kata ku sambil menelan ludah. “ ya ialah” ujar mila dengan tersenyum. Terpaksa aku mengambil horden itu. Letak ruang audio adalah di belakang panggung teater. Di belakang panggung ternyata banyak orang juga yah. Kini, ruang audio tepat di depan ku. Ku beranikan diri, dan mulai membuka pintu itu. Susah. Yah, maklum saja, semenjak sepeninggal bapak murdi penjaga sekolah ini, ruang ini hamper-hampir gak ada yang menyentuhnya. Mungkin mila takut, makanya dia menyuruhku. Sialnya lagi aku juga takut. “traak” terbuka. Pintu ini telah terbuka. Gelap sekali ruangan ini, ku nyalakan saja lampu yang ada di kamar itu.
            Akhirnya terang juga. Disini banyak benda-benda yang sudah berdebu. Saat aku sedang mencari, kutemukan sebuah buku harian. Gak tau punya siapa. Namun judulnya terbuat dari tinta berwarna merah maroon bertuliskan Déjà Vu. Aneh, siapa pula yang bercerita di buku harian memakai judul. Kubuka saja halaman pertama, ada tulisan bab 1,ini berarti ada bab-bab selanjutnya. Di halaman pertama, tergambarkan sesosok anak remaja yang tampan rupawan, memiliki teman dekat, dan diceritakan pula tentang letak rumahnya. Hemmh, aneh, kataku. Letak rumahnya hamper mirip dengan letak rumah ku.
            Kemudian kubuka saja bab kedua, hal ini kulakukan karena takut. Sendiri di ruang ini, bertemankan lampu yang sudah mulai meredupkan dirinya. Bab dua berisikan tentang penemuan buku ini di ruang teater. Busyet dah, makin merinding bulu kuduk ku. Aku lompat saja ke halaman selanjutnya. Ini yang paling ku takutkan, di buku itu tertulis dan benar saja, aku segera mengambil buku itu, kubaca, dan kini kusadari, bahwa itu aku.
            Aaaaa, apa ini? Segera ku buang buku harian itu. Aku langsung berlari keluar ruang audio. Kubuka pintu dan..
            “laang, gilang” suara teman ku yang memanggil namaku itu, bukan lain adalah tyo. Kubuka lebar mataku. Ini bukan di ruang teater, melainkan, kelasku. “ lang, tadi aku pergi ke ekskul teater, aku lihat dia, dia.” Dengan suara terbata-bata. Tyo juga ada disini, berarti semua juga berubah. Ku lihat tyo, apa? Pertanyaannya sama dengan yang tadi. Gayanya, suaranya, nadanya, hingga waktunya. Mungkinkah ini. Tiba-tiba saja, Aku langsung menariknya keluar kelas. Langsung saja kami berjalan menuju kelas teater. Dalam perjalanan kami, seperti yang kuduga, tyo mengomel-ngomel tentang dirinya. Benar-benar terulang.
            Sesampainya di kelas teater, aku berjalan sendiri seperti yang kulakukan sebelumnya. Berbicara dengan mila, hingga ia menyuruhku untuk mengambil horden yang ada di ruang aula. Kemudian aku berjalan menuju ruangan itu dengan perasaan tak enak, dan aku berpikir, setelah ini yang aku lakukan pasti membuka pintu, menyalakan lampu, dan yang terakhir menemukan buku harian itu. Benar saja, setelah menyalakan lampu, aku menemukan buku itu, kemudian aku pgang dan, badanku bergetar, bulu kuduk ku berdiri. Lari, yah itu yang akan ku lakukan. Aku langsung membuang buku itu, dan lari keluar ruang itu dan,
            “laang, gilang” suara teman ku yang memanggil namaku dengan nada kerasnya. Ya, dialah tyo. Sial, terulang lagi. Apa ini? Ada apa sebenarnya? Hal-hal yang tadi kulakukan terulang kembali. Hingga tepat di ruang itu. Berhadapan dengan buku harian itu. Aku memberanikan diri untuk mengambilnya. Kubuka perlahan, dari cover sampai pada halaman 39 bab ketiga. Ku baca, dan tertulis disana “ kemudian ku beranikan diri untuk membacanya, aku terheran, sepertinya aku pernah mengalami ini. Kemudian aku berlari, aku sangat takut, ku buang itu. Ku lihat temanku tergantung di atas kelas..” . apa ? temanku, sial, apa sebenarnya ini. Segera ku berlari keluar pintu dan…
            Waktu itu tak terulang kembali, aku berada tepat di ruang depan ruang audio. Lebih tepatnya di ruang teater. Namun, tak seberapa lama, ku dengar suara teriakan. Suara mila. Segera ku berlari menuju suara itu. Kerumunan siswa sudah berkumpul melihat sesuatu. Bukanlah hal yang menarik, namun mengerikan. Tyo temanku tewas gantung diri di kelas teater. Kenapa bisa terjadi? Ada apa ini? Apa gara-gara buku itu? Sial. Temanku tewas di depan mataku. Aku tak tahan melihat ini, aku gak rela. Maka aku langsung ke ruang audio itu. Ku cari buku harian itu. Berharap dapat membacanya kembali. Dimana bukunya? Setelah beberapa menit, akhirnya kutemukan buku itu di atas meja, telah tertata rapi seperti sebelumnya. Ku ambil dan segera ku baca.
            Bab 4, “ ku cari buku itu, akhirnya kutemukan. Aku segera mengambil dan berjalan keluar ruangan. Kulihat sekolah seluruhnya sepi, bagaikan sekolah kosong yang baru saja di timpa bencana. “ apaaa? Semua akan menghilang? Ada niatku untuk beranjak dari ruang itu. Tapi ku ingat tentang kejadian yang baru saja kualami. Di buku ini tertulis kejadian yang akan datang. Jika aku keluar sekarang, maka semuanya akan terjadi. Namun, jika aku tinggal di ruang ini, maka apa yang tertulis di buku ini akan menjadi tulisan kosong saja.
            Aku berpikir keras. Apayang harus kulakukan. Keluar atau membaca kelanjutannya?
            Aku menetapkan untuk tinggal beberapa menit saja unutk mencoba membaca kelanjutan dari tulisan yang ada di buku harian itu. Bab 5 tertulis,
kemudian aku segera kembali dan duduk di ruag ini. Aku menangis. Kemana semua orang-orang ini. Mereka begitu saja menghilang tanpa jejak. Kemudian aku buku itu, dan kutulis semua kejadian ini.”
Kosong? Kataku heran. Halaman ini kemudian kosong? Tersisa coretan yang mengerikan. Gambar-gambar kematian ini, seperti gambarku saat mengikuti lomba poster film horror yang di adakan di sekolah ku. Terus saja ku coba untuk mencari-cari sesuatu yang dapat membuatku tidak ketakutan lagi. Tapi yang kudapat adalah tulisan,
aku frustasi, bingung. Pisau dan golok sudah ada di sampingku. Tergeletak pula beberapa kepala manusia, tidak lain adalah temanku. Darah bececeran. Siapa pelakunya? Ku lihat tangan ku penuh darah. Aku? Kemudian aku..”
Kosong. Kosong lagi. Tulisan itu terhenti. Tepat di akhir halaman buku harian itu. Aku berpikir, apakah pelakunya penulis itu? Yang membunuh 1 sekolahan dengan tangannya? Siapa penulis buku itu? Kejadiannya sama seperti kejadian ku, malah apa yang tertulis di buku ini, menjadi kenyataan. Berarti pembunuh itu..adalah..
Ah tidak mungkin, aku tidak pernah memegang pisau, ataupun golok. Lagipula di ruang ini hanya aku sendiri. Tidak ada kawan ataupun orang lain. Hal itu terbantahkan ketika aku menoleh, mampus, apa itu.. kenapa ada… aku diam kaku. Yang kulihat adalah kepala seseorang yang tak asing lagi. Mila. Apa? Kepala itu terpajang di dinding ruangan. Penuh dengan darah. Sial. Apa-apaan ini. Selanjutnya, hal yang paling ku takuti adalah, pisau di sebelah tangan kananku, dan golok di tangan kiriku. Penuh dengan noda percikan darah yang sangat kental.
Bukan aku pelakunya, tapi ini tak terbantahkan lagi. Aku pelakunya? Aku? Seingatku, aku adalah seorang siswa yang tak sengaja menemukan buku harian bangsat ini. Semua ini terjadi begitu saja. Dalam hitungan menit. Seluruh sekolah tewas. Aku pasti mengelak dengan semua ini, bahwa aku bukan pelakunya, tapi percuma.
Aku benar-benar frustasi, bingung, gila. Mataku melotot tajam kearah pisau ku. Urat leherku membesar, rambutku acak-acakan, tanganku memerah penuh darah. Aku tersenyum. Kemudian tertawa selebar-lebarnya. Suaraku mendengung hingga kepelosok kelas. Siapa yang mendengar? Tidak ada. Kemudian aku berjalan menuju cermin di samping panggung teater. Kulihat diriku bagaikan seorang remaja psikopat yang gila. Ku lepaskan golokku dari tangan kiriku. Ku pegang rambut ku yang acak-acakan. Ku genggam pisau itu dan ku arahkan tepat ke leherku. Aku tertawa, dan, *jleeebb*..
Tertulis di media massa,
Seorang remaja gila yang membunuh seluruh warga sekolah dengan menggunakan belati. Di duga remaja ini mengalami sakit jiwa sebelum ia bunuh diri tepat di depan cermin.”
Tertulis di buku harian, bagian akhir yang terpotong,
kemudian aku, keluar dari ruang itu. Dan memotong kepalaku sendiri. Itulah hal yang paling aku suka.

Ttd
Gilang Pratama “
            Buku harian itu menghilang. Hampir 3 bulan lamanya polisi setempat mencari barang bukti, namun hasilnya nihil. Kemungkinan, buku harian itu kini ada di sekolah kalian.

                                                                                                                          



END
Karya Muhammad Imam Saputra

Sabtu, 08 Februari 2014

L.O.V.E ??



Assalamualaikum.

Pukul 23:15 WIB


Yooo.. nge-post lagi ni. Terima kasih banyak kepada kalian semua yang selalu ngikutin post-post yang banyak gak jelasnya. Hehe..
Okedeh, langsung aja ya. Kita bahas sesuatu yang menarik, mungkin ini termasuk pengalaman kalian, mungkin juga bisa dijadikan pelajaran.

Dari dulu kayanya belum kelar-kelar emang cerita cinta kehidupan ku. Mungkin saja Tuhan menginginkan untuk terus belajar memaknai cinta. Apa itu cinta? Kebanyakan orang pasti tahunya Love is Cinta (korban film). Yah penafsiran cinta kan berbeda setiap orang setidaknya setiap orang itu pun merasakan cinta. Cinta cinta mulu, makan tuh cinta. Ahaha ungkapan yang bagus bagi mereka yang sudah bosan, atau trauma atau saja sakit karena cinta. Pliisss deeehh (anak alay)

Cinta jangan dijadikan kambing hitam, ataupun jangan membenci cinta. Sudah jelas-jelas cinta itu adalah salah satu sifat sang segala MAHA. ALLAH SWT. Cinta itu suci, cinta itu murni dan bersih. Nah manusianya tuh yang sering salah mempergunakan cintanya. Kalau mungkin saya analogikan (sok ilmiah) cinta itu seperti gelas. Gelas itu murni akan makin murni dan bersih jika di tuangkan air putih (bening) , akan berwarna putih jika dituangkan susu, akan berwarna oranye jika dituangkan air jeruk, akan berwarna hitam jika dituangkan aspal, akan berwarna abu kecoklatan jika dituangkan air comberan. Nah sudah ngerti kan? Air apa yang kalian tuangkan?

Seringkali juga kita selalu mendengar aku cinta kamu karena Allah. Duh duh kalau cinta karena  Allah kalian enggak pacaran kali. :p . kalau kalian mencintainya karena Allah, maka kalian harus menjaganya, menghormatinya, menghargainya, mengajarinya agama, menuntunnya ke jalan yang lurus, jalan Allah. Jika sudah siap nikahi saja. Lah ... kan pacaran itu Cuma STATUS biasa, kaya pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, itu kan status. Kita mencintai orang gak perlu status kan. Kita butuh cinta yang berlandaskan Tuhan. (pengalaman)

Nah, hayoo deh,  mending kita bersama-sama belajar untuk mencintai secara  murni dan utuh. Jangan permasalahkan pacaran atau enggak. Karena cinta itu tentang kamu. Bukan dia atau mereka. Hargai, jaga, perbaiki diri, pantaskan diri. Jodoh ada ditangan Tuhan, dan kita harus memantaskan diri untuk mengambil jodoh itu. ATAU pantaskan dirimu dan dirinya dan mintalah restu Tuhan untuk dijodohkan.




Mungkin bisa bermanfaat buat para remaja yang labil-labilan. Hehe
Maaf sebelumnya. See ya

Bye.

Wassalam